Bangsa Indonesia
Masa Kekuasaan VOC (1602-1799)
Banyak pedagang dari beberapa negara Eropa bersaing untuk menguasai perdagangan di Nusantara, termasuk Belanda. Persaingan juga terjadi di antar perusahaan dagang orang-orang Belanda. Hal itulah yang menjadi perhatian pemerintah dan parlemen Belanda, sebab persaingan itu tentu juga akan merugikan pemerintahan Belanda sendiri.
Guna menyaingi Inggris yang membentuk EIC (East India Company), pada tanggal 20 Maret 1602, Belanda membentuk kongsi (persatuan) dagang VOC. Persekutuan dagang VOC tersebut merupakan hasil penyatuan atau merger dari beberapa serikat dagang yang ada di Belanda. Serikat dagang VOC ini merupakan singkatan dari Verenigde Oost-Indische Compagnie. Dalam bahasa Indonesia VOC disebut Persekutuan Dagang Hindia-Timur. VOC pertama kali berpusat di Ambon.
Tujuan dibentuknya VOC ini antara lain untuk:
Beberapa catatan penting selama kekuasaan VOC.
VOC merupakan organisasi yang mengurusi masalah perdagangan Belanda di Hindia Timur (Indonesia). Meskipun demikian, VOC bertindak seperti sebuah negara. Dalam menjalankan tugasnya VOC mendapat wewenang istimewa dari pemerintah Belanda berupa hak oktroi. Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (piagam/charter) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
Keberhasilan VOC berhasil mengusir Portugis di Maluku pada tahun 1605 mendorong VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku. Dalam mencapai tujuan tersebut VOC menetapkan kebijakan sebagai berikut.
Karena kekuasaanya yang semakin besar, kerajaan Belanda mengangkat seorang gubernur jendral untuk memimpin VOC. Gubernur jendral yang pernah menjabat VOC adalah Pieter Both (1610-1614) dan Jan Pieterzoon Coen (1619-1623).
Pada awalnya rakyat dan penguasa daerah bersikap baik kepada VOC. Sikap baik rakyat dan para penguasa itulah yang dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin berkuasa di Nusantara. Namun, serjalannya waktu orang-orang Belanda mulai menampakkan sikap congkak, dan sombong. Hal itulah yang memunculkan kebencian rakyat dan para penguasa lokal.
Pada masa Gubernur Jenderal Laurens Reael, Jayakarta berhasil direbut oleh pasukan Kesultanan Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale. VOC terusir dari Jayakarta pada tahun 1618 dan kemudian berpindah ke Maluku. Jayakarta kembali dapat dikendalikan oleh Kesultanan Banten.
Laurens Reael kemudian digantikan oleh Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1619. J.P. Coen kembali menyerang kembali Jayakarta. Jayakarta dapat diduduki VOC. Kemudian, Kota Jayakarta hancurkan oleh J.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Kota Jayakarta kemudian itu diberi nama Batavia.
Pada masanya, J.P. Coen juga dikenal sebagai gubernur yang sangat memaksakan berlakunya monopoli. J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat kembali sebagai Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua kalinya pada tahun 1627. Serangan tentara Mataram di bawah Sultan Agung ke Batavia terjadi pada masa jabatan yang kedua ini.
VOC banyak melakukan campur tangan politik pada kerajaan-kerajaan daerah di Nusantara. Selain itu, VOC juga melakukan politik devide et impera (politik adu domba) untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan di Nusantara.
Pada tahun 1641, VOC berhasil mengalahkan Portugis di Malaka. Belanda kemudia menggantikan posisi Portugis di Malaka. Kekuasaan VOC berlanjut, setelah VOC berhasil memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Perjanjian tersebut menegaskan kekuasaan VOC di Makassar.
Masa Akhir VOC Pada abad 17 dan 18, VOC berhasil menguasai sebagaian besar wilayah Jawa dan pelabuhan-pelabuhan penting di Indonesia Timur seperti Makassar dan Maluku, hal tersebut menandai kejayaan VOC.
Memasuki tahun 1673, VOC mulai mengalami kemunduran. Beberapa faktornya antara lain :
Melihat kondisi tersebut pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih saham dan daerah kekuasaan VOC. Tindakan tersebut dilakukan guna untuk menutup utang VOC terhadap pemerintah Belanda. Pada akhirnya, VOC resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 31 Desember 1799. Selanjutnya, Nusantara diperintah langsung oleh pemerintah Belanda.
Cuộc đấu tranh của dân tộc Indonesia - Ứng dụng này chứa tài liệu lịch sử kể câu chuyện về những anh hùng đã chiến đấu cho dân tộc Indonesia. Tư liệu được trình bày dưới dạng bản đồ, giúp người dùng dễ dàng biết được vị trí đấu tranh của người anh hùng. Ngoài ra còn có các trò chơi giáo dục gồm 3 cấp độ trò chơi: - Tìm địa điểm - Tôi là ai? - Chụp và trả lời
Lần cập nhật gần đây nhất
Bảng xếp hạng này hiện đang ở chế độ riêng tư. Nhấp Chia sẻ để công khai bảng xếp hạng này. Chủ sở hữu tài nguyên đã vô hiệu hóa bảng xếp hạng này. Bảng xếp hạng này bị vô hiệu hóa vì các lựa chọn của bạn khác với của chủ sở hữu tài nguyên. Đưa các lựa chọn trở về trạng thái ban đầu
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Kembali ke : Halaman Utama
Kita sudah belajar mengenai Sejarah Kedatangan Bangsa-bangsa Eropa di Indonesia. Selanjutnya kita akan mempelajari sejarah penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa di Nusantara.
Penjajahan bangsa Eropa dapat dibagi dalam beberapa masa sebagai berikut :
1. Masa Kekuasaan VOC (1602 – 1799) 2. Masa Hindia Belanda di bawah Pemerintahan Belanda-Prancis (1800 – 1811), walaupun sebenarnya Prancis baru memerintah pada tahun 1806. 3. Masa Pendudukan Kerajaan Inggris (1811 – 1816) 4. Masa Hindia Belanda di bawah Pemerintahan Kerajaan Belanda (1816 – 1924)
Baca juga : Faktor-faktor Penyebab Kedatangan Bangsa Eropa di Indonesia
Masa Hindia Belanda Langsung di Bawah Pemerintahan Kerajaan Belanda (1816-1942)
Setelah Inggris hengkang dari beberapa wilayah di Indonesia pada tahun 1816, pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia kembali dijalankan oleh pemerintahan yang disebut Pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsch–Indische) yang berada di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda. Hal ini terjadi karena Belanda sudah merdeka dari Prancis pada tahun 1815.
Hindia Belanda diperintah oleh Ratu atau Raja Belanda dengan seorang Gubernur Jendral sebagai perwakilannya yang memiliki kekuasaan penuh untuk menjalankan pemerintahan di tanah jajahannya. Hindia Belanda secara hukum dianggap merupakan wilayah Kerajaan Belanda sesuai dalam Undang-undang Kerajaan Belanda tahun 1814.
Pemerintahan Komisaris Jenderal Pada awalnya, pemerintahan ini dijalankan tiga orang komisaris jenderal, yaitu Flout, Buyskess, dan van der Capellen. Pemerintahan bersama itu bertugas melakukan normalisasi keadaan d Indonesia untuk menjaga peralihan kekuasan lama dari Inggris pada Belanda berjalan lancar. Setelah masa peralihan selam tiga tahun (1816-1819) itu berakhir. Kepala pemerintahan Hindia Belanda setelah itu mulai dipegang oleh seorang Gubernur Jendral. Gubernur Jenderal pertama yang memerintah Hindia Belanda antara tahun 1816-1814 adalah Van der Capellen.
Dalam menjalankan pemerintahannya, komisaris jenderal melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Capellen ada usaha untuk melindungi hak-hak penduduk nusantara, namun ada juga tekanan dari para pengusaha-pengusaha swasta Belanda supaya mendapatkan kebebasan menerapkan usaha. Hal ini mengancam kehidupan penduduk nusantara.
Sementara itu, kondisi ekonomi di negeri Belanda semakin memburuk akibat perang di Eropa. Oleh karena itu, gubernur selanjutnya, Van den Bosch melaksanakan cultuurstelsel (tanam paksa), untuk memberikan keuntungan yang besar bagi Belanda.
Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) 1830-1870
Istilah cultuurstelsel sebenarnya adalah kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa. Rakyat pribumi menerjemahkan cultuur stelsel dengan sebutan tanam paksa. Hal itu disebabkan pelaksanaan proyek penanaman dilakukan dengan cara-cara paksa. Pelanggarnya dapat dikenakan hukuman fisik yang amat berat. Jenis-jenis tanaman yang wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, merica (lada), dan kopi.
Menurut van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hukum adat yang menyatakan bahwa barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Karena raja-raja di Indonesia sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada pemerintah Belanda.
Ketentuan-ketentuan pokok sistem tanam paksa sebagai berikut :
Ketentuan-ketentuan tersebut dalam praktiknya banyak menyimpang sehingga rakyat banyak dirugikan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain berikut ini.
Pelaksanaan system tanam paksa memberikan dampak bagi rakyat Indonesia, baik positif maupun negatif, yaitu : a). Dampak Positif
Kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia ini berlangsung sejak tahun 1816 hingga tahun 1942 setelah Jepang yang mengobarkan Perang Asia Pasifik memaksa Gubernur Jendral Belanda, Van Starkenborgh Stachouw menandatangani Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942 yang berisi penyerahan tanpa syarat pihak Hindia Belanda kepada Jepang.
Baca juga : Sejarah Pendudukan Jepang di Indonesia
Masa Hindia Belanda di Bawah Pemerintahan Belanda-Prancis (1800-1811)
Setelah VOC dibubarkan pada 1799, tanggung jawabnya diambil alih oleh Hindia Belanda (Nederlands Indies), yaitu wilayah pemerintahan jajahan di bawah Kerajaaan Belanda. Pengambilan kekuasaan ini bertujuan agar wilayah Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda. Pemerintahan Belanda hanya bertahan sampai 1806, saat itu Belanda yang menggantikan VOC harus menanggung hutang-hutang VOC.
Nusantara pada saat ini dikenal dengan nama Hindia Belanda (Nederlandsch–Indische), karena wilayah Indonesia pada masa tersebut langsung diperintah oleh Belanda. Pada masa ini masih berdiri kerajaan-kerajaan daerah yang memiliki kedaulatannya masing-masing, walaupun beberapa kerajaan daerah sudah dikontrol atau dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1792–1802 terjadi perang Revolusi Prancis di Eropa. Belanda turut mengalami peperangan melawan Prancis. Akhirnya pada tahun 1806, Prancis menguasai pemerintahan Belanda yang ada di Eropa. Pemerintahan Hindia Belanda diambil alih oleh Perancis pada tahun 1808. Dengan demikian, secara tidak langsung Indonesia pernah dikuasai oleh Prancis.
Herman Willem Daendels diutus oleh Lodewijk (Louis) Napoleon untuk menjadi Gubernur yang menjabat di Batavia dengan tugas utama yaitu mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Tuntutan pemerintahan Belanda kepada Daendels hanyalah pada sektor pertahanan dan ketentaraan.
Untuk menambah kekuatan militernya, Daendels melatih orang-orang pribumi Nusantara menjadi tentaranya, sebab tidak mungkin Daendels merekrut orang – orang dari negara Belanda yang kemudian didatangkan ke Hindia Belanda.Daendels membuat sistem kerja paksa atau kerja rodi.
Kegiatan memperkuat militer Prancis juga sejalan dengan pembangunan pos jaga atau benteng-benteng, pabrik mesiu dan juga rumah sakit tentara. Selain itu, guna mempertahankan pemerintahan di pulau Jawa, Daendels mendirikan jalan Grote Postweg (Jalan Raya Pos) atau sekarang dikenal dengan Pantura dari Anyer, Jawa Barat hingga Panarukan, Jawa Timur.
Pembangunan jalan Jalan Raya Pos menggunakan sistem kerja paksa atau kerja rodi yang dilakukan rakyat pribumi secara paksa dan tanpa upah. Keberhasilan pembangunan jalan pos ini merupakan pencapaian yang gemilang oleh pemerintahan Daendels, namun disisi lain bagi orang-orang Indonesia setiap jengkal jalan pantura merupakan rintihan jiwa orang yang mati dari pribumi yang dipekerjakan secara paksa.
Setelah pembuatan Jalan Raya Pos selesai, Daendels memerintahkan untuk membuat perahu – perahu kecil dan kemudian membuat pelabuhan – pelabuhan untuk tempat bersandarnya kapal perang, rencana pembuatan pelabuhan ini akan dibangun di daerah Banten Selatan. Pembangunan pelabuhan juga memakan korban jiwa yang tidak sedikit bagi warga Banten yang diakibatkan dari penyakit malaria yang menyerang para pekerja paksa.
Akhirnya pembangunan pelabuhan tidak terselesaikan. Meskipun demikian, Daendels bersikeras untuk tetap menyelesaikan pembangunan pelabuhan dan di sisi lain Sultan Banten menentangnya. Daendels menganggap jiwa para pekerja paksa orang-orang Banten tidak ada harganya, sehingga mangakibatkan pecahnya perang antara pemerintahan Daendels melawan Kerajaan Banten.
Pada 1810, Kerajaan Belanda di bawah pemerintahan Louis Napoleon dihapuskan oleh Napoleon menjadi kekuasaan Perancis. Otomatis Indonesia berganti dari pemerintahan Belanda beralih ke pemerintahan Prancis. Akibat tindakannya yang otoriter, pada 1811 Daendels di panggil kembali oleh Napoleon untuk kembali ke Eropa dan digantikan Gubernur Jansens.
Berikut ini adalah kebijakan – kebijakan yang dilakukan Daendels selama Dendels menjabat di Indonesia terutama di pulau Jawa.
1. Bidang Pertahanan dan Keamanan Daendels membangun benteng pertahanan, membangun Grote Postweg dari Anyer hingga Panarukan dan pangkalan angkatan laut di Anyer dan Ujung Kulon. Ia juga mengangkat pribumi sebagai tentara Daendels.
2. Bidang Pemerintahan Daendels membatasi kekuasaan raja-raja di Jawa. Ia membagi Jawa menjadi 9 daerah prefektur yang masing-masing prefektur dipimpin oleh seorang gubernur. Bupati sebagai penguasa diubah menjadi pegawai pemerintahan yang kemudian digaji. Wilayah Kerajaan Banten dan Cirebon dihapuskan dan dinyatakan sebagai wilayah pemerintahan kolonial.
3. Bidang Sosial dan Ekonomi Daendels memaksakan perjanjian kepada penguasa Surakarta dan Yogyakarta untuk melebur ke dalam pemerintahan kolonial, meningkatan pemasukan dari pajak, meningkatkan kegiatan penanaman paksa dan penyerahan wajib hasil bumi, serta melakukan penjualan tanah kepada pihak swasta
Daendels juga memberantas sistem tuan tanah (feodal) yang sebelumnya digunakan oleh VOC. Selain itu Daendels juga membatasi hak-hak bupati terutama dalam hal penguasaan tanag serta pemakaian tenaga rakyat. Pemerintahan Daendels dianggap sebagai pemerintahan bertangan besi atau otoriter. Ia menerapkan disiplin, kerja keras dan kejam. Bagi yang membangkang, Daendels tidak segan untuk memberi hukuman. Hal ini dapat dilihat ketika pembangunan jalan pantura yaitu dengan menerpakan kerja paksa tanpa upah atau makanan sehingga sebagian melarikan diri akan ditangkap dan sisiksa.
Selanjutnya Daendels digantikan oleh Jan Willem Jansenn. Pemerintahan Jansen tidak berlangsung lama yaitu hanya dari 15 Mei 1811 sampai 18 September 1811 yang kemudian menyerah kepada Raffles (Inggris) yang tertuang dalam Kapitulasi Tuntang. Isi Kapitulasi Tuntang di antaranya :
Usaha Perlawanan Terhadap Penjajahan Bangsa-Bangsa Eropa
Keserakahan bangsa Eropa dalam memperoleh keuntungan, menimbulkan banyak pernderitaan bagi rakyat Indonesia. Pada abad ke-19, masyarakat Indonesia berupaya keras untuk melakukan perlawanan. Tujuan utamanya untuk mengusir penjajahan dari Nusantara. Namun sifat perlawanan lokal dari para raja atau sultan dan rakyat terhadap VOC masih sangat lokal.
Perlawanan yang terjadi paling banyak terhadap VOC dan Belanda, hal ini karena VOC dan Belanda memerintah dalam waktu yang sangat lama. Berbeda dengan Prancis dan Inggris yang hanya memerintah dalam waktu kurang dari 10 tahun.
1. Perlawanan Rakyat Maluku terhadap VOC
Pada tahun 1605, VOC bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan lokal berhasil mengusir Portugis dari Maluku. Awalnya VOC sangat disegani oleh rakyat Maluku. Namun, lama kelamaan VOC tak ada bedanya dengan Portugis, sikap VOC mulai semena-mena dan ikut campur dalam urusan kerajaan-kerajaan. Tindakan yang kejam dan sewenang-wenang dari VOC menyebabkan perlawanan dari rakyat.
Salah satu perlawanan yang terjadi yakni pada tahun 1635-1646, oleh masyarakat Hitu dan dipimpin oleh Kakiali serta Telukabesi. Perlawanan ini kemudian meluas ke Ambon, namun perlawanan mengalami kegagalan.
Pada tahun 1650, perlawanan juga dilakukan oleh rakyat Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said. Namun, lagi-lagi serangan tersebut bisa dipatahkan oleh VOC.hal itu dikarenakan VOC memiliki senajat dan pengorganisasian yang lebih baik.
VOC juga berusaha membuat perjanjian dengan Tidore pada tahun 1680. Tidore dianggap menjadi negara bawahan VOC, bukan lagi sekutu. Untuk menguatkan kekuasaanya, VOC mengangkat Putra Alam sebagai penguasa yang baru. Hal tersebut bertentangan dengan tradisi Tidore, dimana seharusnya Pangeran Nuku yang menjadi penguasa. Oleh karena itu Pangeran Nuku melakukan perlawanan bersama dengan rakyat.
Dalam perang tersebut, Pangeran Nuku mendapat dukungan dari Papua di bawah Raja Ampat, Halmahera, Seram Timur, serta Ternate. Oleh para pendukungnya, Pangeran Nuku kemudian diangkat menjadi Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Dengan gelar Sultan, maka perang melawan VOC pun semakin diperkuat. Selain mendapat dukungan dari penguasa lokal, Pangeran Nuku juga mendapat dukungan dari Inggris atau EIC. Dengan kekuatan yang besar, VOC berhasil dikalahkan dan Tidore dapat lepas dari penguasannya.
2. Perlawanan Rakyat Minahasa terhadap VOC
Di wilayah Minahasa (sekarang ; Sulawesi Utara) rakyat berperang melawan VOC. Perang tersebut terjadi dalam dua periode. Periode pertama pada tahun 1661-1664, yang terjadi karena VOC meminta Minahasa untuk membuka daerah yang digunakan untuk pembangunan benteng “Fort Amsterdam” dan pemukiman VOC. Rakyat Minahasa menolak permintaan tersebut, sehingga perang tak bisa dihindari. Pada akhirnya Belanda menawarkan perjanjian yang salah satu isinya adalah bahwa Minahasa membantu VOC untuk menyediakan beras dan kayu gelondong untuk membuat bangunan. Hal tersebut tentunya dianggap sebagai pemaksaan, oleh karena itu Minahasa tetap melawan.
Untuk melawan Minahasa maka VOC membendung Sungai Temberan sehingga air sungai meluap dan menenggelamkan pemukiman. Rakyat Minahasa pun memindahkan tempat tinggalnya ke Danau Tonando dengan membangun rumah apung, dan menjadikannya sebagai pusat kekuatan. Namun, rakyat di Tonando ini kemudian menghadai masalah penumpukan panen, karena tidak ada yang membeli. Sehingga mereka mendekati VOC agar mau membeli panen mereka, dan perang Minahasa itu akhirnya berakhir.
3. Perlawanan Kerajaan Gowa (Makassar) terhadap VOC
Usaha VOC di wilayah Gowa (Sulawesi Selatan) dimulai saar VOC yang berhasil mendirikan kantor dagang di Makassar pada 1607. VOC berusaha untuk melakukan monopoli perdagangan dan meminimalisir peran penguasa lokal. VOC mencoba memonopoli perdagangan dengan membatasi perdagangan dengan negara lainnya, seperti Spanyol dan Portugis. Hal tersebut mendapat perlawanan dari Raja Gowa yaitu Sultan Hasanuddin dan menyebabkan perang pada tahun 1666.
Untuk melawan Raja Gowa, Belanda melakukan kerja sama dengan Kerajaan Bone yang ingin melepaskan diri kekuasaan Gowa. Dengan kekuatan Kerajaan Bone yang didukung oleh Kerajaan Wajo dan VOC, Sultan Hasanuddin pun berhasil dikalahkan. Pada 18 November 1667, Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya, yang berisi:
Isi perjanjian tersebut sangat merugikan. Sultan Hasanuddin menolak dan mencoba kembali melawan. Namun perlawanan tersebut masih bisa diatasi VOC, bahkan benteng pertahanan rakyat Gowa berhasil diambil alih oleh VOC dan diubah namanya menjadi Benteng Rotterdam.
4. Perlawanan Kerajaan Mataram terhadap VOC
Sultan Agung merupakan sultan Mataram Islam. Sultan Agung sendiri merupakan raja dengan cita-cita untuk mempersatukan seluruh tanah Jawa dan mengusir kekuasaan asing. Oleh karena itu, Sultan Agung melakukan perlawanan pada VOC yang melakukan ingin memonopoli perdagangan di Jawa. Selain itu, sebab lainnya adalah karena VOC menghalangi kapal dagang Mataram yang akan berlayar ke Malaka, serta VOC juga menolak mengakui kedaulatan Mataram. Oleh sebab itu, Sultan Agung berencana melakukan penyerangan ke Batavia, pusat kekuatan VOC.
Di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa, Mataram menyerang Batavia, pada tahun 1628. Pasukan Mataram juga dibantu oleh pasukan lainnya, seperti pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul , serta Laskar Orang Sunda dibawah Dipati Ukur. Namun, Mataram masih kalah dalam persenjataan sehingga masih mengalami kekalahan.
Namun Sultan Agung tidak menyerah, sultan melakukan serang yang kedua dengan meningkatkan jumlah kapal dan senjata, serta membangun lumbung-lumbung beras. Namun hal itu diketahui oleh VOC, dan rencana itupun digagalkannya. Perang tetap berjalan, benteng Hollandia berhasil dihancurkan, serta benteng Bommel berhasil dikepung. Akan tetapi, pada akhirnya dengan kekuatan VOC yang makin ditingkatkan maka Mataram berhasil dikalahkan.
Walaupun gagal dua kali melawan VOC, Sultan Agung tetap berusaha melakukan diplomasi dengan VOC. Hasil dari kesepakatan tersebut,VOC kemudian mengakui kekuasaan Mataram yang dibuktikan dengan pengiriman upeti secara berkala pada Mataram. Sebagai imbalannya, VOC diizinkan melakukan perdagangan di Pantai Utara Jawa.
5. Perlawanan Kesultanan Banten terhadap VOC
Banten merupakan daerah yang strategis dalam perdagangan Internasional. Hal itu membuat VOC ingin menguasai Banten, namun selalu gagal. Oleh karena itu VOC berpindah ke Malaka. Sehingga memunculkan persaingan antara Banten dan Batavia. Dibawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, ia berusaha memulihkan Banten sebagai bandar perdagangan internasional dan menyaingi VOC di Batavia. Beberapa cara yang digunakan Banten diantaranya ialah dengan pedagang Eropa lainnya, serta berhubungan dengan negara-negara Asia lainnya.
Untuk mengalahkan Banten, VOC melakukan pengepungan. Kapal Cina dan kapal dagang dari Maluku dilarang melanjutkan perjalanan ke Banten. Untuk membalas blokade itu, Banten juga mengirimkan pasukan untuk mengganggu serta merusak tanaman tebu VOC. Perlawanan Banten dan VOC ini kemudian diselesaikan dengan perjanjian damai pada tahun 1569.
Pada tahun 1680, Sultan Ageng kembali melakukan perang dengan VOC. Namun, dalam kerajaan Banten sendiri terdapat perselisihan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji, yang kemudian dimanfaatkan oleh VOC. Sultan Haji yang didukung Belanda berhasil menggulingkan Sultan Ageng. Sebagai balas budi, Sultan Haji harus menandatangani perjanjian yang berisi:
6. Perlawanan Rakyat Ambon terhadap Belanda
Kebijakan Belanda sangat menyengsarakan rakyat. Salah satunya ialah aturan penyediaan garam dan ikan asin untuk kapal Belanda serta pembayaran hasil cengkih dengan uang kertas, namun penduduk diwajibkan membeli kebutuhan pokok dengan uang logam. Perlawanan di Ambon dan sekitarnya dipimpin Thomas Matulesi atau Kapitan Pattimura pada tahun 1817. Namun pemicu utama perlawan Pattimura ini adalah pemaksaan pemuda Ambon dan Saparua menjadi serdadu oleh Belanda yang dianggap pembuangan oleh rakyat.
Perang ini didukung oleh para pedagang dari Pulau Seram untuk berkomunikasi dengan daerah lain dan mendapatkan persenjataan. Namun Belanda yang dibantu oleh pasukan dari Ternate dan Tidore, berhasil mengalahkan perlawanan Kapitan Pattimura.
7. Perlawanan Diponegoro terhadap Belanda
Diponegoro adalah seorang bangsawan Kesultanan Yogyakarta. Beliau tidak suka Belanda sering ikut campur urusan kerajaan. Belanda juga membawa budaya barat seperti minum minuman keras, sehingga mulai menggeser adat dan budaya lokal. Rakyat juga dijadikan tenaga kerja paksa serta banyak kekejaman lain yang mereka lakukan. Hingga kemudian muncul seorang bangsawan bernama Raden Mas Ontowiryo atau disebut Pangeran Diponegoro. Hingga terjadilah perang yang disebut dengan Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada 20 Juli 1825.
Perlawanan ini juga bermula dari sebuah insiden pemasangan patok untuk membuat jalan baru. Namun dengan sengaja, patok itu dipasang ditanah leluhur Pengeran Diponegoro. Sehingga Pangeran Diponegoro memerintahkan untuk mencabuti patok tersebut. Berawal dari insiden tersebut maka timbul perang. Untuk mengatasi perlawanan tersebut, belanda menerapka strategi Bentang Stelsel yang berhasil memecah kekuatan lawan dan para pemimpin lawan berhasil ditangkap. Hingga kemudian Pangeran Diponegoro setuju untuk melakukan perundingan dengan Belanda. namun hal itu hanya sebagai tipu muslihat Belanda untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Diponegoro.
9. Perlawanan Rakyat Bali terhadap Belanda
Perang di Bali ini terjadi dikarenakan perselisihan mengenai hukum tawan karang. Hukum tawan karang mengatur bahwa setuap kapal yang terdampar di pantai Bali akan menjadi milik penguasa daerah tersebut. Belanda yang kapalnya diambil oleh Raja Buleleng melakukan protes namun ditolak oleh Raja Buleleng. Sehingga pada tahun 1826, Belanda menyerang kerajaan Buleleng. Setelah menguasai Buleleng, Belanda meluaskan kekuasaanya dan mencoba merebut semua kerajaan di Bali. Hingga pada 1906 seluruh kerajaan di Bali berhasil jatuh ke tangan Belanda, setelah terjadi perang habis-habisan oleh rakyat yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik. Perang itu disebut dengan Perang Puputan.
9. Perlawanan Rakyat Banjar terhadap Belanda
Perlawanan rakyat Banjar dimulai ketika Belanda mengangkat Tamjidillah menjadi Sultan Banjar menggantikan Sultan Adam yang meninggal dunia. Rakyat Kesultanan Banjar menuntut Belanda agar Pangeran Hidayatullah yang merupakan pewaris sah, diangkat sebagai Sultan Banjar. Tetepi tuntutan tersebut tidak ditanggapi. Pangeran Hidayatullah, bersama Pangeran Antasari, dan Demang Leman memimpin rakyat Banjar melawan Belanda.
Dalam perlawanannya, Pangeran Antasari bersama para pejuang Banjar turut berhasil menenggelamkan kapal Onrust sekaligus para pemimpinnya di Sungai Barito. Pada tahun 1861, Pangeran Hidayatullah ditangkap Belanda dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kepemimpinannya kemudian diambil alih Pangeran Antasari.
Pangeran Antasari meneruskan perjuangan Pangeran Hidayatullah. Di tangannya, kualitas peperangan meningkat karena ada unsur agama. Pangeran Antasari wafat pada 11 Oktober 1862 karena penyakit cacar yang kala itu mewabah di Kalimantan Selatan. Ia wafat ketika mempersiapkan serangan besar-besaran terhadap Belanda.
Walaupun kebanyakan perlawanan yang dilakukan tidak mendapatkan hasil yang memuaskan, namun dapat diketahui bahwa sejak dahulu rakyat Indonesia telah memiliki jiwa nasionalisme yang kuat. Walau masih bersifat kedaerahan, namun telah menjadi langkah utama dalam perlawanan-perlawanan selanjutnya.
Baca juga : Usaha Mempertahankan Kedaulatan Negara Indonesia
Jangan lupa, kunjungi pula media sosial kami! Youtube : SD Strada Van Lith 1 Facebook : SD Strada Van Lith 1 Instagram : sdstrada_vanlith1
Oleh SHIDARTA (Desember 2016)
“Une nation est donc une grande solidarité, constituée par le sentiment des sacrifices qu’on a faits et de ceux qu’on est disposé à faire encore. Elle suppose un passé ; elle se résume pourtant dans le présent par un fait tangible : le consentement, le désir clairement exprimé de continuer la vie commune.”
Ucapan Ernest Renan di atas disampaikan saat orasi dies Universitas Sorbonne tanggal 11 Maret 1882. Ketika itu Renan mencoba mencari jawaban tentang “apakah bangsa itu” (qu’est ce qu’une nation). Terjemahan bebas dari kutipan di atas kurang lebih sebagai berikut: “Jadi, sebuah bangsa adalah suatu solidaritas besar, yang dibentuk oleh kesadaran bahwa solidaritas tersebut merupakan buah pengorbanan banyak orang dan kesediaan dari banyak orang untuk berkorban lagi [guna mempertahankannya]. Hal Ini sepertinya mengacu pada kejadian di masa lampau, tetapi sebenarnya adalah kenyataan yang dapat dipegang sekarang, yaitu suatu kesepakatan, berupa keinginan tegas untuk melanjutkan hidup bersama (sebagai suatu bangsa).”
Saat ini, kesadaran kita sebagai bangsa Indonesia sedang dipertanyakan banyak pihak. Apa yang disebut Renan dengan ‘sebuah solidaritas besar’ (une grande solidarité) tengah diaduk-aduk oleh berbagai peristiwa yang mengusik nurani kebangsaan kita. Dan, terasa makin banyak elemen masyarakat yang kehilangan kesadarannya bahwa gangguan terhadap solidaritas besar itu membahayakan eksistensi bangsa ini. Sebab, runtuhnya solidaritas besar tersebut adalah runtuhnya memori sejarah bahwa bangsa ini telah berdiri dengan susah payah di atas pengorbanan banyak pahlawan. Sekaligus, hal itu berarti runtuhnya kesediaan anak-anak bangsa saat ini untuk rela berkorban lagi guna mempertahankannya.
Perlu dicatat bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang dilahirkan oleh suatu bangsa. Jadi, konsep bangsa Indonesia sudah ada terlebih dulu, baru kemudian menyusul konsep bernegara. Soekarno-Hatta memproklamasikan berdirinya negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan atas nama mereka berdua, melainkan atas nama bangsa Indonesia. Jika dirunut pada sejarah, dapat saja kita katakan bahwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 merupakan titik berangkat dari kesepakatan untuk berbangsa Indonesia itu. Sumpah ini adalah sumpah untuk membangun solidaritas besar, dengan menjadikan semua orang yang mengaku dirinya “Indonesia” memiliki kesadaran yang sama pula untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu.
Salah seorang tokoh kemerdekaan Indonesia, Prof. Sunario, pernah pula menerjemahkan karya Renan ini ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkannya pada tahun 1968, Ini berarti pemikiran Renan sudah tidak asing lagi bagi para pendiri negara ini. Dengan sendirinya berarti pula konsep berbangsa atas dasar ras, bahasa, agama, kelompok kepentingan, geografis, yang sudah dipandang usang (obsolete) oleh Renan, juga telah mereka tampik untuk dijadikan dasar fondasi kebangsaan Indonesia itu.
Jadi, tali perekat untuk tetap menjadikan Indonesia sebagai bangsa ada pada daya perekat yang disebut oleh Renan sebagai solidaritas besar itu. Solidaritas hanya terbangun abadi jika semua kepentingan saling terhubung dan membuka diri untuk dimasuki oleh semua komponen bangsa. Inilah hakikat tiga dari empat pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yang (maaf) sudah mulai lenyap dari kesadaran kita sebagai bangsa.
Pokok pikiran pertama adalah negara persatuan. Pokok pikiran ini menegaskan bahwa negara yang didirikan oleh bangsa ini adalah negara persatuan. Negara yang mengakomodasi berbagai keanekaragaman dari sudut etnisitas, agama, bahasa, dan lain-lain. Oleh sebab itu, semua bentuk upaya untuk menghilangkan pokok pikiran ini adalah gerakan yang merusak tataran solidaritas besar bangsa.
Pokok pikiran kedua adalah keadilan sosial. Pokok pikiran ini menggarisbawahi tujuan berdirinya negara ini, yaitu menuju ke kondisi masyarakat yang berkeadilan sosial. Oleh sebab itu, semua bentuk upaya yang memberangus tataran aksiologis berbangsa ini, harus juga ditentang. Tidak boleh ada satu elemenpun di masyarakat ini yang diperlakukan secara tidak adil. Keadilan sosial tidak diukur dari banyaknya orang. Jika itu yang dijadikan tolok ukur, maka solidaritas besar sebagai bangsa akan runtuh, karena kekuatan banyaknya massa selalu dipakai sebagai legitimasi untuk berbuat apa saja, yang tidak tertutup kemungkinan diinisiasi oleh kepentingan sempit jangka pendek.
Pokok pikiran ketiga adalah demokrasi (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan). Pokok pikiran ini mengaksentuasi dimensi epistemologi kita dalam membangun negara ini. Bahwa, di dalam negara ini ada aturan main yang harus dihormati. Negara tidak boleh bermain-main kekuasaan secara otoriter. Jika negara yang diberi kewenangan untuk menggunakan kekuasaan publik saja dilarang untuk berlaku sewenang-wenang, apalagi jika yang bermain-main kekuasaan itu adalah eksponen non-negara. Tindakan ‘main hakim sendiri’ oleh satu komponen masyarakat terhadap komponen masyarakat yang lain merupakan tindakan yang anti-demokrasi, dan hal ini sungguh-sungguh merusak solidaritas besar kita sebagai bangsa.
Jalan yang kemudian ditempuh untuk memberi ruang bagi masyarakat mengekspresikan diri adalah dengan menjadikan negara ini sebagai negara hukum. Tidak hanya negara hukum yang ditetapkan secara formal saja, melainkan negara hukum yang memuat muatan substansialnya. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945, dapat dipandang sebagai muatan substansial yang khas Indonesia, yakni dengan memasukkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Kembali kepada wacana ‘solidaritas sosial’ yang disampaikan oleh Renan; maka dapat disimpulkan bahwa bangsa ini akan bertahan saat ini sebagai bangsa jika sebagian besar dari anak-anak bangsanya masih memiliki kesediaan untuk berkorban mempertahankan eksistensinya untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa. Kita meyakini bahwa kesediaan berkorban ini masih ada dan tetap ditunjukkan dalam banyak kesempatan, termasuk dengan gerakan-gerakan perlawanan terhadap perilaku anarkistis dan aksi main hakim sendiri oleh beberapa kelompok organisasi massa. Namun, kesediaan ini merupakan urusan jiwa. Renan menyebutnya sebagai jiwa atau prinsip rohani (Une nation est une âme, un principe spirituel). Oleh sebab itu, jiwa berbangsa ini harus dijaga oleh negara dengan memelihara keseimbangan peran kelompok-kelompok aset yang ada di negara kita.
Renan pernah mengindentifikasi kelompok kepentingan (la communauté des interets) ini sebagai salah satu indikator yang dapat diperhitungkan bagi tumbuhnya suatu bangsa. Saya sendiri menilai, kelompok kepentingan ini memang tidak signifikan untuk mencuatkan lahirnya suatu bangsa, tetapi kelompok kepentingan ini memainkan peran utama dalam menjaga solidaritas besar suatu bangsa, tatkala bangsa itu sudah eksis dan mengorganisasikan dirinya ke dalam negara.
Menurut D.B. Grusky (lihat link pada referensi di bawah), pada suatu masyarakat terdapat setidaknya tujuh kelompok kepentingan, yang disebutnya sebagai kelompok aset (asset group). Mereka dibedakan menjadi kelompok bidang ekonomis (economic), politis (political), budaya (cultural), sosial (social), kehormatan (honorific), keperdataan (civil), dan sumberdaya manusia (human).
Pada hakikatnya, untuk menjaga solidaritas besar berbangsa tetap sehat dan konstruktif, tidak boleh ada satu golongan masyarakat pun yang secara stereotipe diposisikan hanya menguasai suatu aset sosial ini. Sebagai contoh, pelaku ekonomi di Indonesia harus tersebar luas menjangkau semua kelompok sosial, demikian juga dengan pelaku politik, dan seterusnya. Sudah tidak zamannya lagi jika ada kelompok sosial tertentu sengaja didorong atau sebaliknya dicegah untuk menekuni bidang tertentu saja.
Kita mendambakan pelaku-pelaku besar ekonomi Indonesia dipenuhi oleh anak-anak muda Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Mereka berkolaborasi sekaligus berkompetisi secara sehat untuk memanfaatkan setiap peluang usaha di Indonesia dan mancanegara. Demikian juga dengan panggung-panggung politik kita juga dipenuhi dengan orang-orang cerdas dan jujur dari berbagai latar belakang, yang hadir untuk ikut membangun solidaritas besar bangsa Indonesia. Forum budaya, sosial, dan seterusnya juga demikian halnya. Inilah struktur masyarakat yang saling menyilang (cross-cutting society) yang seyogianya kita terus upayakan hadir di negeri ini. Struktur masyarakat yang menyilangkan berbagai kelompok sosial untuk masuk ke dalam aneka kelompok kepentingan (bandingkan dengan Nasikun, 2000: 86-87).
Terlepas dari gagasan ideal tersebut, harus disadari bahwa sekat-sekat primordial memang sangat potensial untuk mengoyang solidaritas besar ini. Unsur primordial berupa agama, misalnya, tidak akan menimbulkan masalah sepanjang para pemuka agama masih mampu menempatkan diri sebagai pemilik aset yang terhormat (honorific asset group). Sejarah membuktikan bahwa kelompok aset ini justru kerap menjadi duri dalam daging ketika mereka tidak lagi mampu bertahan sebagai kelompok sosial yang layak dihormati.
Ciri-ciri degradasi seperti ini bisa terlacak apabila label agama hanya difungsikan secara formal tanpa peran untuk mencerahkan. Agama tidak lagi membawa suasana menyejukkan, tetapi sebaliknya menyesakkan. Agama justru dipakai untuk melegitimasi tindakan-tindakan destruktif terhadap solidaritas berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai keadaban yang harusnya dijaga, diganti dengan provokasi dan [boleh jadi] caci maki. Pemuka agama tipe ini hanya meminjam sementara wadah yang honorific tersebut; sebab jatidiri mereka sebenarnya adalah pemain peran di ‘economic’ atau ‘political asset group’. Dengan perkataan lain, agama hanya dijadikan alat berpolitik dan mencari keuntungan ekonomis bagi kelompoknya sendiri. Sejarah berbagai bangsa memberi referensi cukup banyak tentang hal ini, sebagaimana misalnya terjadi di Abad Pertengahan, yakni tatkala institusi agama dan politik dipenuhi oleh figur-figur korup yang menggerus kepercayaan publik.
Bangsa Indonesia harus mewaspadai hal-hal seperti ini. Bangsa ini sangat perlu terus menjaga solidaritas besarnya dengan cara-cara rasional dan beradab. Sebab, bangsa ini memang didirikan dengan pengorbanan orang banyak dan tekad kuat untuk hidup bersama. Selamanya! (***)
Ernes Renang, Apakah Bangsa Itu? (terjemahan Sunario). Bandung: Alumni, 1994.
Ernerst Renan, “Qu’est ce Qu’Une Nation?”
Ernest Renan, “What is a Nation?”, text of a conference delivered at the Sorbonne on March 11th, 1882, in Ernest Renan, Qu’est-ce qu’une nation?, Paris, Presses-Pocket, 1992. (translated by Ethan Rundell).
D.B. Grusky, “Social Stratification.”
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.
We strive for merit-based student admissions regardless of financial capability, supported by the Fellowship Kader Bangsa scholarship.
We aim more than 25% of our students will be funded by scholarships, including living expenses.
Masa Pemerintahan Kerajaan Inggris (1811-1816)
Inggris menyerbu Pulau Jawa pada tahun 1811, Belanda menyerahkan Hindia Belanda kepada Inggris melalui Kapitulasi Tuntang. Isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.
Pada masa ini, Indonesia diperintah oleh Thomas Stamford Raffles, sebagai wakil gubernur jenderal yang berkedudukan di Kakuta, India. Namun, dalam pelaksanaannya Raffles berkuasa penuh di Indonesia sehingga Raffles sering dianggap juga sebagai gubernur jenderal di Indonesia yang pada waktu itu dinamakan British East Hindia (Hindia Timur Inggris).
Pada awalnya, pemerintahan Raffles di Indonesia cenderung mendapat tanggapan positif dari para raja dan rakyat Indonesia karena hal berikut ini.
Berikut ini kebijakan-kebijakan selama pemerintahan Inggris di bawah Raffless.
1. Bidang Pemerintahan Pulau Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan. Setiap karesidenan dipimpin oleh seorang residen.Raffles mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak barat. Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya sebagai kepala pribumi secara turun-temurun. Mereka dijadikan pegawai pemerintah kolonial Inggris.
2. Bidang Perekonomian Raffles menerapkan sistem sewa tanah yang disebut Landrent. Sistem tersebut memiliki ketentuan, antara lain:
Sistem landrent ini diberlakukan terhadap daerah-daerah di Pulau Jawa, kecuali daerah-daerah sekitar Batavia dan Parahyangan. Hal itu disebabkan daerah-daerah Batavia pada umumnya telah menjadi milik swasta dan daerah-daerah sekitar Parahyangan merupakan daerah wajib tanam kopi yang memberikan keuntungan yang besar kepada pemerintah. Bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan pajak kepala.
Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedangkan pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan.
Selain itu Raffless juga menghapus pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (Verplichte Leverantie) karena dianggap terlalu berat dan dapat mengurangi daya beli rakyat.
3. Bidang Hukum Sistem peradilan yang diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Penerapan hukum tidak membedakan warna kulit (ras) tetapi lebih berorientasi pada besar-kecilnya kesalahan.
4. Bidang Sosial Perintahan Raffless menghapuskan kerja rodi (kerja paksa) yang dibuat oleh Daendels. Ia juga menghapuskan perbudakan, walupun dalam praktiknya Raffless melanggar kebijakannya tersebut.
5. Bidang Ilmu Pengetahuan Masa pemerintahan Raffles di Indonesia memberikan cukup banyak peninggalan yang berguna bagi ilmu pengetahuan, antara lain penulisan buku berjudul History of Java, aktif dalam mendukung perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, ditemukannya Borobudur dan bunga bangkai yang akhirnya diberi nama Rafflesia Arnoldi, serta dirintisnya Kebun Raya Bogor
Berakhirnya pemerintah Inggris di Indonesia ditandai dengan adanya Convention of London (Konvensi London) pada tahun 1814. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh wakil-wakil dari Belanda dan Inggris. Isi dari Konvensi London adaalah pengembalian Indonesia kepada Belanda (kecuali Bengkulu), serta tukar menukar beberapa wilayah jajahan antara Inggris dan Belanda.
Setelah Konvensi London tersebut, Raffles digantikan John Fendall, dalam waktu yang singkat. Namun, Raffles masih menguasai wilayah di Bengkulu, Bangka dan Belitung. Karena pemerintahan Raffles berada di antara dua masa penjajahan Belanda, pemerintahan Inggris itu disebut sebagai masa interregnum (masa sisipan). Akhirnya Inggris benar-benar meninggalkan Indonesia pada tahun 1816.